Minggu, 23 Juni 2019

COLLEGE : ESSAY


ANALISIS SOSIOLOGI KRITIK
DALAM BINGKAI PEMBERITAAN DARING
“KOMODIFIKASI KEBERPIHAKAN MEDIA
DALAM NYALI PROPAGANDA
PILPRES 2019”

Disusun oleh :
Ken Budi Luhur              170910101019
Dosen Pengampu :
Dr. Muhammad Iqbal, S.Sos, M.Si


ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2019


KOMODIFIKASI KEBERPIHAKAN MEDIA
DALAM NYALI PROPAGANDA
PILPRES 2019
Ken Budi Luhur
170910101019

Pilpres 2019 memang telah usai, pemenang pun telah tegas diproklamirkan. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa Pilpres 2019 merupakan sebuah proses panjang rivalitas politik, yang tentunya,  melibatkan bukan hanya kubu Jokowi dan Prabowo, namun juga seluruh sentimen para pendukungnya yang terbagi dalam sebaran populasi di negri ini.   Di sisi lain, patut kita akui pula bahwa, bagaimanapun, Pilpres 2019 merupakan sebuah ajang kontestasi yang terkesan miskin gagasan. Terdapat penyesalan tidak berarti terhadap kedua kubu yang dalam hal ini sama-sama mandul dalam memproduksi nilai maupun diskursus alternatif di luar dari penampilan sentimen dan kesan citra politik.
Sehingga, sah-sah saja tentunya jika Pilpres 2019 dipandang anti-klimaks karena mengakhiri euforianya dengan sangat terpaksa, kontroversial, dan cenderung meninggalkan luka tak berimbang antara mentalitas para paslon dan sentimen pendukungnya. Sebab, jika kita menilik kembali agenda Pilpres 2019, spektrum kampanye hanya terkotak pada perbincangan seputar milenial atau ibu-ibu, karakter tegas atau merakyat, bahkan agenda sholat jum’at atau perang tagar sentimental yang dihubungkan dengan ideologi kenegaraan. Hal tersebut lumrah menjadi lumrah karena semenjak awal pencalonan hingga berakhirnya masa kampanye, proyeksi yang ditayangkan media kita ialah mengenai agenda-agenda yang dinilai kurang substantif dan relevan untuk dijadikan agenda publik. Pada akhirnya, penggiringan agenda publik pun berhenti di titik jenuh seputar serial debat capres, pemaran statistik survey, serta penggorengan isu-isu yang terindikasi hoaks.
Hal ini jelas mengharuskan kita untuk melipat tangan, mengkritisi eksistensi dari media sebagai sebuah dilemma. Media yang dimaksud dalam hal ini meliputu media cetak maupun daring. Adapun jika kita hendak menilik balik penyelenggaraan Pilpres 2019 lalu, akan terungkap fakta bahwa kebanyakan media telah ditunggangi oleh berbagai macam kepentingan para elit yang berkebutuhan, yang salah satunya tentunya mencangkup peran dan keberpihakan media mulai dari penyediaan konten yang secara konsisten menjunjung seorang tokoh kepartaian hingga interpretasi hoaks kekinian terkait citra  politik yang saat ini sibuk berlalu-lalang di berbagai lini masa.
Dalam pagelaran Pilpres lalu, kita semua telah sama-sama menyaksikan bagaimana media secara terang-terangan, perlahan namun pasti, menunjukkan keberpihakannya pada partai dan calon tertentu. Kenyataan ini pun membuat banyak orang menggerutu dan berasumsi bahwa media tidak lagi netral, tidak lagi jernih, sebab mereka tidak lagi menyiarkan berita publik melainkan hanya menjadi juru kampanye penguasa atau pemiliknya. Keberpihakan yang kita maknai sebagai sebuah tindakan diluar profesionalitas, bagi para pegiat media sendiri merupakan sebuah keabsolutan tak terbantahkan. Maka dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa sebenarnya, ada keterkaitan yang kuat antara media dengan apa yang menjadi konsumsi publik saat ini.
Pada akhirnya lini masa kita menjadi tempat paling strategis untuk kemudian dijadikan titik temu dari segala terjun bebasnya ambisi pemberitaan media. Tanpa adanya tawaran program, perbincangan mengenai Pilpres melulu diisi oleh sentimen dan kesan, kebencian dan prasangka yang menempatkan perang ideologi. Ruang publik kita akhirnya dikotori oleh perbincangan yang tak punya hubungan dengan persoalan mendasar dari apa yang dibutuhkan publik. Hal itu merentang mulai dari sentimen anti-asing, tingkat kesalehan, citra tegas atau merakyat, keharmonisan rumah tangga, agenda sholat Jumat, atau siapa yang lebih membenci LGBT. Tak ada yang bicara soal privatisasi air, komersialisasi pendidikan, kesejahteraan buruh, konglomerasi media, perampasan tanah petani, kerusakan lingkungan, hak sipil, hak disabilitas, atau perempuan yang diperkosa pada Mei 1998.
Perbincangan publik digegerkan oleh hoaks-hoaks recehan yang pada akhirnya hanya menghendaki emosi dan empati semu dari publik yang harus mengasihaninya. Di tengah kontes politik omong kosong seperti ini, apakah peran sebenarnya dari media disini?  Apakah ia hanya sebagai pabrik penggiring opini, atau ada fungsi tertentu yang masih bisa menempatkannya sebagai anjing penjaga atau suluh perjuangan rakyat kecil dalam menyuarakan kepentingannya?
Dalam situasi demikian, media sebenarnya bisa berperan untuk memaksa kandidat politik berbicara hal penting. Salah satu caranya adalah dengan menonjolkan beberapa isu krusial melalui pemberitaan yang mendalam dan terfokus. Banyak riset telah menunjukkan bagaimana pengaruh media dan ideologi dominan sangat mempengaruhi elit dalam mengambil keputusan (Davis, 2003: 672-673). Pun Teori Agenda Setting yang mengasumsikan bahwa konsentrasi media pada beberapa isu berpotensi menggiring publik untuk menganggap isu.
Media hidup di tengah isu dan peristiwa yang beragam. Setiap harinya, media melakukan seleksi atas isu dan peristiwa yang beragam tersebut untuk diangkat menjadi berita. Dari yang terpilih menjadi berita tersebut, media kemudian menyeleksi lagi isu-isu tertentu untuk dipilih menjadi headline. Berita headlineadalah berita yang dianggap penting oleh media.
Seperti yang telah direfleksikan oleh beberapa tulisan di remotivi, suluhpergerakan, maupun mojok.co,  asumsi mengenai Teori Agenda Setting yang menganggap bahwa berita yang dijadikan headline bukan saja menggambarkan apa yang media anggap penting, tapi juga apa yang media pikir penting untuk publik bincangkan. Seperti ditulis McCombs dan Shaw (dalam Patel dan Rushefsky, 2016) bahwa, “media mungkin tidak hanya memberitahu kita untuk memikirkan sesuatu, mereka mungkin juga memberitahu kita bagaimana dan apa yang harus dipikirkan mengenai hal tersebut, dan bahkan mungkin apa yang harus kita perbuat atasnya”.


           

ZALEEKA




Hey. Lama nih nggak update visual gallery. 
Di sela-sela kesibukan duniawi dan peribadatan akhirati, aku mau upload tentang beberapa orang yang aku rasa punya pengaruh di hidupku belakang ini. 
Pengaruh baik atau buruk nih? 
Kita liat aja nanti. 
Disana ada Bung Lido, dan Nyonya Eliz 🙌
.
Untuk kalian yang beda fakultas dan circle peradaban denganku. 
Aku nggak pernah ngerasa se-cepat ini nyaman sama orang baru yang sebenernya 'sering' berjumpa tapi jarang bersua. 
Kita ketemu waktu debat KDMI, and I successfully failed you tobe the Winner. I did 😌
Tapi, ya aneh aja gitu, dari awal ketemu udah cocok sebenernya, cuma memang permainan waktu agak 'brutal' sih ngatur timeline sedemikian rupa yang buat kita bisa saling hilang dan muncul lagi ke permukaan. 
Iya, kita deket emang pas kalo ada lomba aja. 
Lomba debat pastinya. 
Cuma belakangan ini, kaya ada yang beda gitu. Semakin kita di se-tim-kan, semakin kuat tali persaudaraan. 
Kita pernah sama-sama ngakuin kalo, 'Its just different, this team is magic' 🌈
Dari sekian banyak tim berpikirku, entah dalam debat atau diskusi kritis, kalian terbaik sih. 
Won't just end the game and move on to new another team. 
You're the best 🔥
Semua kemenangan ini, mulai dari anak pertama sampe anak kedua. THOSE ARE FOR US! 
So, thank you. 
Tons of love ❤️
—ZALEEKA 🔥

Sabtu, 15 Juli 2017

DUA SETENGAH HARI




Semua hal ada masanya.

Ya. Dalam sebuah kehidupan, orang akan silih berganti mengisi kekosongan diri. Ada yang bertahan meraba hati, ada juga yang pergi membawa sunyi. Ada yang memberi kesan, ada juga yang hilang tak beralasan. Ada yang memberi manfaat, ada juga yang berguna tapi tidak berisyarat.
.
Bapak Isnurul. Ya. Itu nama asumsinya. Seorang lelaki yang mulai menjumpai masa tuanya dengan banyak cerita. Aku mengenalnya secara singkat dalam dua setengah hari.Ya. Hanya dua setengah hari.
Suatu hari beliau mengajarkanku beberapa pengalaman hidup yang mungkin belakangan mulai kusadari manfaatnya. Beliau berkata bahwa hidup adalah sebuah proses untuk menempa, bukan malah bermanja. Permasalahan dan kebahagiaan yang datang hanyalah aksesoris ringan. Waktu akan membuatnya tampak asing kemudian. Kita bisa saja melampaui apa yang kita minta dengan hanya percaya pada potensi yang ada. Beliau adalah contoh nyata dari keseriusannya. Keseriusan untuk mengejar mimpi dengan keseluruhan potensi.
.
Selebihnya, dua setengah hari bukanlah waktu yang cukup bagi dua insan asing untuk saling mengenal. Tapi, dalam kisah ini semua berbeda.
Dua setengah hari bisa saja menjadi sebuah masa dimana dua insan penuh tanya di-akrabkan oleh kebiasaan saling sapa.
Dua setengah hari bisa saja menjadi sebuah kesempatan dimana dua pribadi ungul mimpi bisa duduk bersama membahas hidupnya.
Dan, dua setengah hari bisa saja menjadi sebuah ketentuan Tuhan yang mungkin tidak beralasan.
Aku selalu berpikir, bahwa sosok Ayah kandung adalah yang terbaik dari segalanya.
Iya, memang.
Tapi, beliau mengubah persepsi itu. Menunjukan bahwa di luar sana masih banyak hal yang perlu aku rasa.
Sedih dan bangga selalu menggebu bersama ketika aku mengingatnya.
Pada akhirnya, kepeduliannya mengharuskanku menyebutnya sebagai keluarga. Pengganti Ayah untuk dua setengah harinya.
Panggil aja pakde boleh, om boleh, bahkan bapak pun boleh. Senyamannya kamu" katanya.
Semoga suatu hari kita bisa dipertemukan lagi, atas dasar ketentuan Sang Ilahi. Amin.





Jumat, 14 Juli 2017

MENCINTA DAN DICINTA



Pernakah kamu mendengar sebuah dongeng yang berakhir bahagia.
Sebab apa? Kok bisa?
Ya. Pada akhirnya, kamu akan mengerti bahwa mereka berakhir bahagia karna kisahnya selalu dipenuhi cinta, dan hasrat untuk memanjakan rasa.
Pun, hal ini bisa dengan mudah kita temukan dalam sebuah makna keluarga.
Kenapa? Karna hanya dalam keluarga-lah kasih sayang dan kepedulian bisa melahirkan rasa nyaman. Nyaman untuk bersama, nyaman untuk bahagia.
.
Dalam sebuah keluarga, mencinta bukanlah suatu paksaan dan dicinta bukanlah suatu kebetulan.
Sehingga, kebahagian yang sesekali datang adalah perwudan dari pembiasaan. Pembiasan untuk saling menabur cinta satu ke lainnya.
.
Tadinya Aku sempat berfikir, bahwa keluarga bahagia adalah koefisiensi dari nama Ayah, Ibu, dan Anak. Mereka saling mencintai satu sama lain, melawan segala keterbatasan dengan saling memberi rasa aman dan nyaman.
Tapi, pertanyaan akan muncul saat kita menyadari bahwa sebuah keluarga tidak utuh lagi. Entah itu kehilangan sesosok Ayah misalnya.
Lalu apa kesimpulanmu? Apakah keluarga itu tidak akan lagi merasakan bahagia? Tidak akan pernah?
Salah. Keluarga itu justru akan menjadi lebih bahagia dan kuat tentunya.
Alasan apa yang mendasarinya? Kehilangan satu sosok yang sangat dibanggakan memang menyedihkan, apalagi sosok itu mengambil pentingnya peranan.
Tapi, itu bukan berarti semua cita-cita dan rasa cinta dibawa habis olehnya. Sedangkan, di sisi lain masih ada sosok Ibu yang rela berjuang dan Anak yang siap membanggakan. Kolaborasi ini akan membiasakan kita untuk bersikap tegar, terbiasa, dan dewasa.
Karna kadang, kedewasaan akan muncul saat keadaan menekan.
Ya. Keadaan mengajak kita untuk belajar meng-IKHLAS-kan yang sudah ditakdirkan.
Hal inilah yang -sebenarnya- menjadi inti dari sebuah keluarga. Saling menguatkan demi kasih sayang. Saling mengikhlaskan demi kebaikan.
Disinilah pentingnya dukungan.
Life must go on. Pernah mendengarnya?
Hidup ini adalah sebuah film utuh. Bukan hanya potongan gambar.
Belajarlah menerima sikap Tuhan yang berusaha mendewasakanmu dengan cara yang bahkan hambanya-pun tidak tau.
Mencinta dan dicinta ; Keluarga.
Selamat berbahagia untuk kamu dan keluarga