ANALISIS SOSIOLOGI KRITIK
DALAM BINGKAI PEMBERITAAN DARING
“KOMODIFIKASI KEBERPIHAKAN MEDIA
DALAM NYALI PROPAGANDA
PILPRES 2019”
Disusun oleh :
Ken Budi Luhur 170910101019
Dosen Pengampu :
Dr. Muhammad Iqbal, S.Sos, M.Si
ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2019
KOMODIFIKASI KEBERPIHAKAN MEDIA
DALAM NYALI PROPAGANDA
PILPRES 2019
Ken
Budi Luhur
170910101019
Pilpres
2019 memang telah usai, pemenang pun telah tegas diproklamirkan. Meskipun demikian,
tidak dapat dipungkiri bahwa Pilpres 2019 merupakan sebuah proses panjang
rivalitas politik, yang tentunya,
melibatkan bukan hanya kubu Jokowi dan Prabowo, namun juga seluruh
sentimen para pendukungnya yang terbagi dalam sebaran populasi di negri ini. Di sisi lain, patut kita akui pula bahwa, bagaimanapun,
Pilpres 2019 merupakan sebuah ajang kontestasi yang terkesan miskin gagasan.
Terdapat penyesalan tidak berarti terhadap kedua kubu yang dalam hal ini
sama-sama mandul dalam memproduksi nilai maupun diskursus alternatif di luar
dari penampilan sentimen dan kesan citra politik.
Sehingga,
sah-sah saja tentunya jika Pilpres 2019 dipandang anti-klimaks karena
mengakhiri euforianya dengan sangat terpaksa, kontroversial, dan cenderung meninggalkan
luka tak berimbang antara mentalitas para paslon dan sentimen pendukungnya.
Sebab, jika kita menilik kembali agenda Pilpres 2019, spektrum kampanye hanya
terkotak pada perbincangan seputar milenial atau ibu-ibu, karakter tegas atau
merakyat, bahkan agenda sholat jum’at atau perang tagar sentimental yang
dihubungkan dengan ideologi kenegaraan. Hal tersebut lumrah menjadi lumrah karena
semenjak awal pencalonan hingga berakhirnya masa kampanye, proyeksi yang
ditayangkan media kita ialah mengenai agenda-agenda yang dinilai kurang
substantif dan relevan untuk dijadikan agenda publik. Pada akhirnya,
penggiringan agenda publik pun berhenti di titik jenuh seputar serial debat
capres, pemaran statistik survey, serta penggorengan isu-isu yang terindikasi hoaks.
Hal
ini jelas mengharuskan kita untuk melipat tangan, mengkritisi eksistensi dari
media sebagai sebuah dilemma. Media yang dimaksud dalam hal ini meliputu media
cetak maupun daring. Adapun jika kita hendak menilik balik penyelenggaraan Pilpres
2019 lalu, akan terungkap fakta bahwa kebanyakan media telah ditunggangi oleh
berbagai macam kepentingan para elit yang berkebutuhan, yang salah satunya
tentunya mencangkup peran dan keberpihakan media mulai dari penyediaan konten
yang secara konsisten menjunjung seorang tokoh kepartaian hingga interpretasi
hoaks kekinian terkait citra politik
yang saat ini sibuk berlalu-lalang di berbagai lini masa.
Dalam
pagelaran Pilpres lalu, kita semua telah sama-sama menyaksikan bagaimana media
secara terang-terangan, perlahan namun pasti, menunjukkan keberpihakannya pada
partai dan calon tertentu. Kenyataan ini pun membuat banyak orang menggerutu
dan berasumsi bahwa media tidak lagi netral, tidak lagi jernih, sebab mereka tidak
lagi menyiarkan berita publik melainkan hanya menjadi juru kampanye penguasa
atau pemiliknya. Keberpihakan yang kita maknai sebagai sebuah tindakan diluar
profesionalitas, bagi para pegiat media sendiri merupakan sebuah keabsolutan
tak terbantahkan. Maka dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa sebenarnya, ada
keterkaitan yang kuat antara media dengan apa yang menjadi konsumsi publik saat
ini.
Pada akhirnya lini masa kita menjadi tempat paling
strategis untuk kemudian dijadikan titik temu dari segala terjun bebasnya
ambisi pemberitaan media. Tanpa adanya tawaran program, perbincangan mengenai
Pilpres melulu diisi oleh sentimen dan kesan, kebencian dan prasangka yang
menempatkan perang ideologi. Ruang publik kita akhirnya dikotori oleh
perbincangan yang tak punya hubungan dengan persoalan mendasar dari apa yang
dibutuhkan publik. Hal itu merentang mulai dari sentimen anti-asing, tingkat
kesalehan, citra tegas atau merakyat, keharmonisan rumah tangga, agenda sholat
Jumat, atau siapa yang lebih membenci LGBT. Tak ada yang bicara soal
privatisasi air, komersialisasi pendidikan, kesejahteraan buruh, konglomerasi
media, perampasan tanah petani, kerusakan lingkungan, hak sipil, hak
disabilitas, atau perempuan yang diperkosa pada Mei 1998.
Perbincangan publik digegerkan oleh hoaks-hoaks recehan yang pada akhirnya hanya
menghendaki emosi dan empati semu dari publik yang harus mengasihaninya. Di
tengah kontes politik omong kosong seperti ini, apakah peran sebenarnya dari media
disini? Apakah ia hanya sebagai pabrik
penggiring opini, atau ada fungsi tertentu yang masih bisa menempatkannya
sebagai anjing penjaga atau suluh perjuangan rakyat kecil dalam menyuarakan
kepentingannya?
Dalam
situasi demikian, media sebenarnya bisa berperan untuk memaksa kandidat politik
berbicara hal penting. Salah satu caranya adalah dengan menonjolkan beberapa
isu krusial melalui pemberitaan yang mendalam dan terfokus. Banyak riset telah
menunjukkan bagaimana pengaruh media dan ideologi dominan sangat mempengaruhi
elit dalam mengambil keputusan (Davis, 2003: 672-673). Pun Teori Agenda Setting
yang mengasumsikan bahwa konsentrasi media pada beberapa isu berpotensi menggiring
publik untuk menganggap isu.
Media
hidup di tengah isu dan peristiwa yang beragam. Setiap harinya, media melakukan
seleksi atas isu dan peristiwa yang beragam tersebut untuk diangkat menjadi
berita. Dari yang terpilih menjadi berita tersebut, media kemudian menyeleksi
lagi isu-isu tertentu untuk dipilih menjadi headline.
Berita headlineadalah berita yang dianggap penting oleh media.
Seperti
yang telah direfleksikan oleh beberapa tulisan di remotivi, suluhpergerakan,
maupun mojok.co, asumsi mengenai Teori
Agenda Setting yang menganggap bahwa berita yang
dijadikan headline bukan saja menggambarkan apa yang media anggap
penting, tapi juga apa yang media pikir penting untuk publik bincangkan.
Seperti ditulis McCombs dan Shaw (dalam Patel dan Rushefsky, 2016) bahwa,
“media mungkin tidak hanya memberitahu kita untuk memikirkan sesuatu, mereka
mungkin juga memberitahu kita bagaimana dan apa yang harus dipikirkan mengenai
hal tersebut, dan bahkan mungkin apa yang harus kita perbuat atasnya”.