Semua hal ada masanya.
Ya. Dalam
sebuah kehidupan, orang akan silih berganti mengisi kekosongan diri. Ada yang
bertahan meraba hati, ada juga yang pergi membawa sunyi. Ada yang memberi
kesan, ada juga yang hilang tak beralasan. Ada yang memberi manfaat, ada juga
yang berguna tapi tidak berisyarat.
.
Bapak Isnurul. Ya. Itu nama asumsinya. Seorang lelaki yang
mulai menjumpai masa tuanya dengan banyak cerita. Aku mengenalnya secara singkat
dalam dua setengah hari.Ya. Hanya dua setengah hari.
Suatu hari beliau mengajarkanku beberapa pengalaman hidup yang
mungkin belakangan mulai kusadari manfaatnya. Beliau berkata bahwa hidup adalah
sebuah proses untuk menempa, bukan malah bermanja. Permasalahan dan kebahagiaan
yang datang hanyalah aksesoris ringan. Waktu akan membuatnya tampak asing
kemudian. Kita bisa saja melampaui apa yang kita minta dengan hanya percaya
pada potensi yang ada. Beliau adalah contoh nyata dari keseriusannya. Keseriusan
untuk mengejar mimpi dengan keseluruhan potensi.
.
Selebihnya, dua setengah hari bukanlah waktu yang cukup bagi
dua insan asing untuk saling mengenal. Tapi, dalam kisah ini semua berbeda.
Dua setengah hari bisa saja menjadi sebuah masa dimana dua
insan penuh tanya di-akrabkan oleh kebiasaan saling sapa.
Dua setengah hari bisa saja menjadi sebuah kesempatan dimana
dua pribadi ungul mimpi bisa duduk bersama membahas hidupnya.
Dan, dua setengah hari bisa saja menjadi sebuah ketentuan
Tuhan yang mungkin tidak beralasan.
Aku selalu berpikir, bahwa sosok Ayah kandung adalah yang
terbaik dari segalanya.
Iya, memang.
Tapi, beliau mengubah persepsi itu. Menunjukan bahwa di luar
sana masih banyak hal yang perlu aku rasa.
Sedih dan bangga selalu menggebu bersama ketika aku
mengingatnya.
Pada akhirnya, kepeduliannya mengharuskanku menyebutnya
sebagai keluarga. Pengganti Ayah untuk dua setengah harinya.
“Panggil aja pakde boleh, om boleh, bahkan bapak pun boleh.
Senyamannya kamu" katanya.
Semoga suatu hari kita bisa dipertemukan lagi, atas
dasar ketentuan Sang Ilahi. Amin.